Menurut Kusmana dan Istomo (2008), dalam rumusan
hasil Lokakarya Pembangunan Timber
Estate pada tanggal 29-31 Maret 1984 di Kampus Darmaga Fakultas Kehutanan IPB.
Istilah resmi Hutan Tanaman Industri (HTI) waktu itu belum banyak dikenal maka
digunakan istilah Timber Estate (perkebunan kayu). Tujuan pembangunan HTI
adalah :(1) Menyediaan bahan baku industri perkayuan secara mantap dalam jumlah
dan mutu dari hutan tanaman disamping bahan baku yang berasal dari hutan alam.
(2) Meningkatkan nilai tambah dari hutan dan meningkatkan penerimaan negara (3)
Meningkatkan peranan Indonesia sebagai penghasil dan pengekspor kayu tropis
utama di dunia. (4) Mendorong pertumbuhan pembangunan daerah sesuai dengan
kondisi dan potensi masing-masing dalam rangka pembangunan nasional dan
pembangunan wilayah. (5) Memperluas kesempatan usaha dan kesempatan kerja bagi
semua golongan masyarakat. (6) Mempercepat alih teknologi ke tangan bangsa
Indonesia. (7) Meningkatkan peranan energi alternatif, khususnya yang berasal
dari biomassa dalam penyediaan energi nasional, baik untuk keperluan industri
maupun rumah tangga. (8) Turut mengendalikan dan mengamankan keserasian
lingkungan hidup.
Hal pokok yang mendasari perlunya pembangunan HTI pada
waktu itu adalah telah diprediksinya kecenderungan penurunan kualitas hutan
alam dan penurunan produksi kayu dari hutan alam karena perladangan berpindah,
kebakaran hutan, penebangan liar dan belum berhasilnya rehabilitasi areal bekas
tebangan hutan alam.
Target yang akan dicapai dalam pembanguna HTI waktu itu
adalah :
(1) Terbentuknya HTI sedikitnya seluas 6,2 juta ha pada tahun 2000. (2) Produksi kayu yang mulai dihasilkan pada tahun-10 (1994) dan mencapai puncaknya pada tahun-30 (2015) sekitar 90 juta m3/tahun.
(1) Terbentuknya HTI sedikitnya seluas 6,2 juta ha pada tahun 2000. (2) Produksi kayu yang mulai dihasilkan pada tahun-10 (1994) dan mencapai puncaknya pada tahun-30 (2015) sekitar 90 juta m3/tahun.
Hutan tanaman industri (HTI) diarahkan sesuai jenis dan
tujuan HTI yaitu (1) Kayu pertukangan untuk tujuan industri kayu penggergajian
dan plywood dengan arahan daur 10-30 tahun. (2) Kayu serat dan pulp untuk
tujuan industri pulp, kertas, rayon dll. dengan arahan daur 8-20 tahun. (3)
Kayu energi untuk tujuan industri arang dan kayu bakar dengan arahan daur 5
tahun. Berdasarkan hasil lokakarya tersebut lokasi pembangunan HTI diarahkan
pada (1) Tanah kosong dan padang alang-alang. (2) Semak belukara dan (3) hutan
rawang dan hutan tidak produktif.
Namun perjalanan pembangunan HTI sampai saat ini ternyata
jauh dari target yang akan dicapai terutama dari segi luas HTI yang telah
terbangun dan target produksi yang telah ditetapkan. Sampai akhir tahun 2006
luas HTI yang telah terbangun sekitar 2,5 juta ha.
Hal-hal penting yang menjadi kendala dalam pencapaian
target dan permasalahan yang muncul seputar pembangunan HTI adalah :
1.Pembangunan HTI yang mengandalkan murni dana investor tidak menarik karena pengembaliam modal yang lama, banyak diliputi ketidakpastian baik politik, sosial dan ekonomi. Dengan skema penyertaan dana pemerintah (terutama dana DR ) sering memberi peluang untuk para pengusaha spekulan. 2.Masalah ketidakpastian kawasan areal calon HTI yang umumnya sudah diokupasi masyarakat dan adanya tumpang tindih penggunaan lahan di lapangan 3.Kriteria tanah kosong dan padang alang-alang yang memberi peluang keberhasilan pembangunan HTI sangat rendah karena tanahnya yang tidak subur dan biaya produksi tinggi. Kriteria hutan tidak produktif yang multitafsir dan konversi hutan alam menjadi HTI dengan adanya IPK semakin memperparah degradasi hutan alam yang tidak diimbangi keberhasilan/ peningkatan produktivitas HTI. Dampak keberhasilan HTI terhadap aspek lingkungan pada dasarnya jelas memberikan manfaat yang sangat positif. Manfaat positif yang dapat diperoleh pada aspek lingkungan pembangunan HTI adalah : 1.Meningkatkan produktivitas dan kualitas hutan jika HTI dibangun pada lahan yang tidak produktif (tanah kosong, padang alang-alang atau lahan kritis lainnya). 2. Manjaga keseimbangan tata air dan meningkatkan serapan air, jika HTI dibangun pada lahan kritis dengan curah hujan tinggi yang sering dilanda banjir, erosi dan longsor. 3. Dalam kaitannya dengan pemanasan global satu-satunya komponen ekosistem di bumi yang dapat menyerap CO2 cukup tinggi dan menghasilkan O2 adalah pohon atau hutan cepat tumbuh.
1.Pembangunan HTI yang mengandalkan murni dana investor tidak menarik karena pengembaliam modal yang lama, banyak diliputi ketidakpastian baik politik, sosial dan ekonomi. Dengan skema penyertaan dana pemerintah (terutama dana DR ) sering memberi peluang untuk para pengusaha spekulan. 2.Masalah ketidakpastian kawasan areal calon HTI yang umumnya sudah diokupasi masyarakat dan adanya tumpang tindih penggunaan lahan di lapangan 3.Kriteria tanah kosong dan padang alang-alang yang memberi peluang keberhasilan pembangunan HTI sangat rendah karena tanahnya yang tidak subur dan biaya produksi tinggi. Kriteria hutan tidak produktif yang multitafsir dan konversi hutan alam menjadi HTI dengan adanya IPK semakin memperparah degradasi hutan alam yang tidak diimbangi keberhasilan/ peningkatan produktivitas HTI. Dampak keberhasilan HTI terhadap aspek lingkungan pada dasarnya jelas memberikan manfaat yang sangat positif. Manfaat positif yang dapat diperoleh pada aspek lingkungan pembangunan HTI adalah : 1.Meningkatkan produktivitas dan kualitas hutan jika HTI dibangun pada lahan yang tidak produktif (tanah kosong, padang alang-alang atau lahan kritis lainnya). 2. Manjaga keseimbangan tata air dan meningkatkan serapan air, jika HTI dibangun pada lahan kritis dengan curah hujan tinggi yang sering dilanda banjir, erosi dan longsor. 3. Dalam kaitannya dengan pemanasan global satu-satunya komponen ekosistem di bumi yang dapat menyerap CO2 cukup tinggi dan menghasilkan O2 adalah pohon atau hutan cepat tumbuh.
HTI DAN KESEIMBANGAN
AIR
Pembangunan HTI dapat menjaga keseimbangan air jika pembangunan HTI dilaksanakan secara bijaksana dengan memperhatikan : 1. Jenis pohon yang ditanam disesuaikan antara tingkat transpirasi jenis tersebut dengan jumlah curah hujan areal penanaman. Misalnya jika jenis yang ditanam mempunyai evapotranpirasi sebesar 3000 mm/th, maka jenis tersebut hanya dapat ditanam pada daerah dengan curah hujan > 3000 mm/th, karena jika ditanam pada daerah dengan curah hujan < 3000 mm/th maka daerah tersebut akan mengalami defisit air. 2. Penanaman HTI sebaiknya menciptakan strata tajuk, paling tidak ada dua strata, yaitu strata kanopi pohon dan strata tumbuhan penutup tanah. Dengan kombinasi bentuk daun yang runcing dan sempit serta dengan adanya strata tajuk tersebut dapat memperkecil massa dan kecepatan butir air hujan yang jatuh ke lantai hutan. Jika lantai hutan penuh dengan tumbuhan penutup tanah, serasah dan humus maka pembangunan HTI tersebut dapat mengurangi aliran permukaan (air larian) dan dapat meningkatkan infiltrasi air (suplesi air). Dengan berkurangnya air larian dan meningkatnya suplesi air maka pembangunan HTI dapat mengurangi bahaya banjir dan erosi serta meningkatkan air simpanan (air tanah). Pada lahan kritis atau tanah kosong (tidak bervegetasi) air menguap dari permukaan tanah dan diganti oleh air dari bawahnya, laju penguapan lebih tinggi dari pada laju naiknya air, sehingga tanah cepat kering dan laju penguapan menurun. Tanah kosong yang ditutupi serasah, laju penguapannya lebih kecil karena serasah menghalangi penguapan air. Namun pada tanah berhutan, lengas tanah diserap oleh perakaran dibawa ke daun, karena permukaan daun yang luas dan perakaran yang ekstensif sehingga laju penyerapan dan penguapan air lebih besar dibandingkan dengan tanah kosong dan tanah kosong yang ditutupi serasah. Hutan juga menahan air hujan yang jatuh, air hujan yang jatuh tertahan oleh tajuk (intersepsi), air intersepsi menguap kembali ke udara. Sebagian hujan mengalir melalui batang (aliran batang) dan selanjutnya mengalir ke tanah. Aliran batang dan air lolosan akhirnya sampai lantai hutan sebagai curahan atau presipitasi. Air di lantai hutan diserap serasah dan humus (intersepsi serasah), Setelah serasah jenuh dengan air, sebagian air akan mengalir di atas permukaan sebagai air larian. Sebagian air meresap ke tanah mengisi lengas tanah menjadi air simpanan, pengisian air simpanan disebut suplesi.
Suplesi diperbesar/dipermudah kalau ada serasah (ada
intersepsi oleh serasah) karena tanah menjadi gembur karena aktivitas makhluk
hidup tanah. Makin besar suplesi makin kecil, baik air larian maupun aliran air
sungai. Pembuangan serasah dapat meningkatkan air larian sebesar 4 % (Soemarwoto,
1991).
|
Air simpanan adalah sumber
untuk aliran air dalam jangka panjang, sebagain keluar melalui mata air dan
menambah aliran air. Hutan dapat pula mengurangi air simpanan melalui
evapotranspirasi, sehingga hutan mempunyai dua pengaruh yang berlawanan
terhadap besarnya aliran dasar. Hutan dapat meningkatkan suplesi air, hutan
mengurangi air simpanan karena evapotranspirasi, hal ini sangat terasa pada
musim kemarau Jika hutan produksi alam dikonversi menjadi HTI, maka pengaruh
konversi hutan terhadap aliran air ditentukan oleh perbandingan besarnya
evapotranspirasi dan suplesi air simpanan. Jika evapotranspirasi dan suplesi
air simpanan lebih kecil pada penggunaan baru maka aliran air akan naik. Pada
konversi hutan alam menjadi HTI pengaruh yang nyata adalah perubahan dalam
besarnya laju evapotranspirasi sedangkan laju suplesi air simpanan tidak
berubah.
Pada reboisasi dan penghijauan lahan kritis menjadi HTI
yang berhasil, laju evapotranspirasi dan suplesi air simpanan akan meningkat.
Reboisasi dan penghijauan yang berhasil menaikkan peresapan air, sehingga air
simpanan naik untuk memasok mata air dan sumur, walaupun sebenarnya aliran air
total berkurang karena naiknya laju intersepsi dan evapotranspirasi. Jika
pembangunan HTI dengan jenis yang mempunyai evapotranspirasi yang tidak cocok
tidak meningkatkan air simpanan karena air simpanan habis terpakai oleh
evapotranspirasi. Transpirasi selain tergantung jenis tumbuhan juga tergantung
pada tingkat kesuburan tanah, semakin subur laju transpirasi semakin tinggi.
Dalam suatu DAS, indikasi DAS yang rusak jika aliran maksimum (Qmaks) besar dan
aliran minimum (Qmin) kecil, sehingga nisbah Qmaks/Qmin besar. Sebagai contoh
Soemarwoto (1991) melaporkan DAS Citanduy mempunyai nisbah Qmaks/Qmin dari 813:1
tahun 1968 menjadi 27:1 tahun 1983, jadi reboisasi berhasil, tetapi aliran air
tahunan turun drastis dari 9.300 juta m3 tahun 1968 menjadi 3.500 m3 tahun
1983. DAS Citarum tahun 1919-1923 rata-rata 47 % CH menjadi aliran air dan pada
1970-1975meningkat menjadi 52 %, aliran air naik karena luas hutan menurun
sekitar 33 % tahun 1960.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar