Karet diyakini dinamai oleh Joseph Priestley, yang pada 1880
. Ia menemukan Lateks yang dikeringkan dapat menghapus tulisan pensil. Ketika
karet dibawa ke Inggris , dia diamati bahwa benda tersebut dapat menghapus
tanda pensil di atas kertas. Ini adalah awal penamaan rubber dalam bahasa
Inggris. Di tempat asalnya, di Amerika Tengah dan Amerika Selatan , karet telah
dikumpulkan sejak lama. Peradaban Mesoamerika menggunakan karet dari Castilla
elastica. Orang Amerika Tengah kuno menggunakan bola karet dalam permainan
mereka (lihat: permainan bola Mesoamerika ). Menurut Bernal Diaz del Castillo,
Conquistador Spanyol sangat kagum terhadap pantulan bola karet orang Aztek dan
mengira Bahwa bola tersebut dirasuki roh setan. Di Brasil orang lokal membuat
baju tahan air dari karet. Sebuah cerita menyatakan bahwa orang Eropa pertama
yang kembali ke Portugal dari Brasil dengan membawa baju anti-air tersebut
menyebabkan orang-orang terkejut sehingga ia dibawa ke pengadilan atas tuduhan
melakukan ilmu gaib.
Pemanfaatan
karet sebagai bahan baku Industri semakin meluas di dunia didukung dengan hasil
penelitian yang inovatif kala itu sehingga permintaan karet melonjak maka usaha
budidaya karet diluar Amazon mulai digalakkan.
Karet
yang digunakan oleh bangsa Eropa kala itu, seluruhnya didatangkan dari Brazil
dalam bentuk koagulum karet sehingga pemanfaatnya dalam industri juga masih
terbatas. Titik terang industri karet di eropa mulai tampak berkat penemuan
Charles Manchintos di tahun 1818 bahwa coal tar naphta limbah dari pengolahan batu bara dapat
dimanfaatkan sebagai pelarut karet yang efektif dan ekonomis. Dengan
penemuannya, Manchintos mampu membuat
jas hujan dengan melapisi permukaan lembaran karet dengan coal tar naptha kemudian merekatkan kedua permukaan karet yang
telah terlapisi tadi. Manchintos
kemudian mematenkan teknik pembuatan jas hujan ini pada tahun 1823.
Pada
awalnya, penanaman Hevea di Indonesia kurang mendapat respon positif karena
masyarakat telah lebih dahulu mengenal pohon lokal yang juga menghasilkan getah
yaitu Fiscus elastica. Pohon berdaun lebar dan
bersinar ini merupakan pohon favorit masyarakat Belanda. Selain itu juga
pemerintah Belanda lebih menyukai menanam pohon karet jenis Manihot
glaziovii yang tumbuh
dengan baik di propinsi dengan iklim kering di Brasil yaitu Ceara dan Castiloa
elastica yang aslinya
berasal dari Mexico dengan anggapan bahwa pohon karet Hevea hanya mampu tumbuh
didaerah dengan kelembaban tinggi. Tahun 1889, Pemerintah Belanda membuka
perkebunan karet di daerah Pamanukan dan Ciasemlanden, Jawa Barat dengan karet
yang ditanam jenis Fiscus elastica.
Perkebunan ini dianggap sebagai perkebunan karet tertua di dunia. Hasil dari
perkebunan kurang memuaskan karena produktivitas lateks rendah dan tanaman
mudah terserang hama dan penyakit. Industrialis
Inggris lainnya, Thomas Hancock menyadari kesulitan melarutkan karet dalam
pelarut tertentu. Oleh karena itu beliau memikirkan cara lain dalam memproses
karet yang jauh lebih mudah daripada dengan melarutkannya yaitu dengan
melunakkan karet. Teknik ini dikenal dengan mastikasi dengan melewatkan karet
pada roll silinder yang berputar pada arah dan kecepatan berlawanan. Alat
mastikasi dinamakan mastikator. Pada
tahun 1837, Hancock memantenkan mastikator.
Penemuan
Hancock mengilhami industrialis di belahan benua lain dalam mengembangkan
proses pengolahan karet, misalnya E.M. Chaffee dari Roxburg
Rubber Company di
Amerika Serikat yang mematenkan teknik calendering di tahun 1836 dan H. Bewley mematenkan ekstruder unuk
gutta percha tahun 1845. Kembali ke Inggris, Hancock menyatakan tertarik dengan
usaha yang dijalankan Manchintos, keduanya mengumumkan bekerja sama memproduksi Macintosh
coats atau Mackintoshes.
Umumnya
barang jadi karet termasuk jas hujan produksi perusahaan Hancock dan
Manchintos, belum mampu memenuhi kepuasan konsumen karena mengeras di musim
dingin dan melembek saat terkena suhu tinggi. Charles Goodyear melihat penonema
ini sebagai peluang untuk membawa perubahan di industri karet. Goodyear terus melakukan penelitian
agar dapat merubah sifat plastis karet. Pada
tahun 1839, di laboratorium miliknya secara tidak sengaja Goodyear menumpahkan
sulfur pada karet yang berada di dekat perapian dan pada keesokan harinya
Goodyear menemukan bahwa karet berubah menjadi elastis.Goodyear menyadari jika
sulfur dan panas dapat merubah sifat karet. Goodyear kemudian menamakan
temuannya dengan vulkanisasi.
Selain
penemuan Hancock dengan mastikasinya dan vulkanisasi oleh Goodyear, masih
banyak hasil penemuan tentang teknologi pengolahan karet antara lain ditemukannya accelerator yang mempersingkat waktu vulkanisasi
oleh Hofmann dan Goltop, Alexander Parkes menemukan teknik cold
vulcanization yang
menggunakan larutan sulfur klorida di dalam karbon disulfida, disusul oleh S.J.
Peachey pada tahun 1918
menemkan cara vulkanisasi menggunakan sulfur aktif. Kemudian W. Oswald
menemukan bahan pencegah degradasi pada barang jadi karet yaitu anilin dan
bahan aromatis lainnya. Dan terakhir penggunaan carbon
black dalam industri
karet yang dapat meningkatkan sifat mekanik barang jadi karet. Hasil
penelitian-penelitian tersebut menjadi pelopor perkembangan modernisasi dalam
industri karet di dunia sehingga menyebabkan pemanfaatan karet di industri
semakin luas antara lain sebagai ban, selang dan peralatan kedokteran. Hal ini turut berimbas terhadap
naiknya permintaan karet alam yang tidak dapat dipenuhi oleh Brazil sebagai
satu-satunya produsen karet alam di dunia pada abad ke-19. Hancock yang mampu
membaca situasi krisis karet ini mulai mempelopori penanaman karet Hevea
brasilinsies. Pada tahun 1835, Hancock mendekati Direktur Botanical
Garden Kew London, Sir William Hooker dan menasehatinya untuk turut membantu
mengenalkan dan mulai menanam pohon karet Hevea di wilayah kolonial Inggris
yang berada Asia. Namun ide ini kurang direspon oleh Sir William Hooker. Beberapa tahun kemudian kesadaran
untuk mulai membudidayakan pohon karet, diawali oleh Sir Clements Markham,
pegawai pemerintahan Inggris di India. Beliau kemudian meminta James Collin
yang telah terlebih dahulu mempelajari karet untuk mengerjakan proyek penanaman
tersebut. Hasil studi Collin dipublikasikan tahun 1872 dan menjadi perhatian
Direktur Kew Botanic Garden yang baru, Sir Joseph Hooker, putra dari Sir
William Hooker. Selanjutnya Joseph Hooker berkerja sama dengan James Collin
dalam usaha membudidayakan karet. Joseph Hooker membeli sekitar 2000 biji karet
dari Farris atas permintaan Collin. Biji karet tersebut dicoba dikecambahkan
namun pada akhirnya hanya 12 biji yang berhasil tumbuh hingga menjadi tanaman
karet baru.
Ketertarikan
untuk membudidayakan karet muncul dari bangsawan Inggris lainnya, Sir Henry
Wickman yang menjelajahi hutan Amazon untuk mengumpulkan biji karet dan pada
akhirnya berhasil membawa sekitar 70.000 biji karet ke Inggris tahun 1876. Biji
karet Wickman kemudian dikecambahkan di Kew Botanical Garden namun hanya
sekitar 2000 biji saja yang mampu berkecambah. Usaha budidaya karet juga terus
dilakukan oleh Sir Clements Markham, beliau mengutus Robert Cross ke Amazon
untuk mengumpulkan biji karet seperti yang dilakukan oleh Sir Wickman. Cross
kembali ke Inggris dan berhasil membawa 1080 biji namun hanya 3% saja yang
mampu bertahan selama perjalanan dari Brazil ke Inggris tanpa menjadi busuk.
Seratus
buah biji karet Wickman yang berhasil tumbuh menjadi bibit perkecambahan
kemudian dikirim ke Ceylon (sekarang Sri Langka) dari Kew Botanical Garden pada
bulan September 1876. Selanjutnya di bulan Juni 1877, Kew Botanical Garden
kembali mendistribusikan 22 tanaman karet dengan tujuan Singapore Botanical
Garden. Tanaman karet tersebut diterima oleh Henry Ridley selaku Direktur
Singapore Botanical Garden yang selanjutnya dijuluki ”mad Ridley” karena
kegigihannya dalam membudidayakan tanaman karet di tanah Malaya. Henry Ridley
menanam 75% dari tanaman itu di Residency Garden di Kuala Kangsar kemudian di
tahun 1884, Frank Swettenham menanam 400 bijih di Perak dimana bijih ini
merupakan hasil pohon karet yang ditanam di kuala kangsar dan selanjutnya
antara tahun 1883 – 1885 ditanam di Selangor oleh T. H. Hill. Ridley juga
mengenalkan teknik eksploitasi getah karet dengan penyadapan tanpa menebang
pohon karetnya.
Di
tahun 1876 Kew Botanical Garden juga mengirimkan 18 buah biji karet ke
pemerintahan kolonial India Belanda (sekarang Indonesia) namun demikian hanya
dua buah biji yang berhasil tetap segar selama diperjalanan. Dua biji ini
kemudian ditanam di Cultuurtuin Bogor sebagai koleksi dan menjadi
pohon karet tertua di Indonesia. (Sumber : Santi, 2009, Sejarah Karet, Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar