Bagi
Indonesia sebagai negara kepulauan, pesisir merupakan kawasan strategis dengan
berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya sehingga
berpotensi menjadi prime mover pembangunan nasional. Karakteristik
wilayah pesisir Indonesia diantaranya adalah :
q Meliputi 81,000 km panjang garis pantai dengan 17,508
pulau yang sangat beraneka ragam karakteristiknya.
q Dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60% dari
penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai.[1]
Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal perkembangan urbanisasi
Indonesia pada masa yang akan datang.
q Terdapat 47 kota pantai mulai dari Sabang hingga Jayapura
sebagai pusat pelayanan aktivitas sosial-ekonomi pada 37 kawasan andalan laut
sekaligus sebagai pusat pertumbuhan kawasan pesisir.
q Mengandung potensi sumber daya kelautan yang sangat kaya,
seperti (a) pertambangan dengan diketahuinya 60 cekungan minyak, (b) perikanan
dengan potensi 6,7 juta ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17 titik
penangkapan ikan dunia; (c) pariwisata bahari yang diakui dunia dengan
keberadaan 21 spot potensial, dan (d) keanekaragaman hayati yang sangat tinggi
(natural biodiversity).
q Wilayah ini merupakan sumber daya masa depan (future resources) dengan memperhatikan
berbagai potensinya yang pada saat ini belum dikembangkan secara optimal.
Sebagai contoh, dari keseluruhan potensi sumber daya perikanan yang ada maka
secara agregat nasional baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang
termanfaatkan. Sementara itu, ditinjau dari nilai investasi yang masuk, maka
besaran investasi domestik dan luar negeri pada bidang kelautan dan perikanan
selama 30 tahun tidak lebih dari 2% dari total investasi di Indonesia.
q Pesisir merupakan kawasan perbatasan antar-negara maupun
antar-daerah yang sensitif yang memiliki implikasi terhadap pertahanan dan
keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pemanasan
global (global warming) pada dasarnya
merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena
terjadinya efek rumah kaca (greenhouse
effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida
(CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan
CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai
literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia –
yang terjadi pada kisaran 1,5–40
Celcius pada akhir abad 21.
Pemanasan
global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik
(seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir,
peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna
tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi
aktivitas sosial-ekonomi masyarakat
meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b)
gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan
dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan
produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah
penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua
dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir.
Walaupun
dampak kenaikan permukaan air laut dan banjir yang sesungguhnya masih menjadi
debat dalam dunia riset, dalam makalah ini dapat dikemukakan skenario kenaikan
muka air laut yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate
Change (1990), dimana disebutkan adanya 3 (tiga) skenario kenaikan
permukaan air laut (sea level rise). Beberapa studi yang dilakukan untuk
Indonesia menggunakan skenario moderat yakni kenaikan sebesar ± 60 cm hingga akhir abad 21
sebagai pijakan. Adapun skenario tersebut selengkapnya disajikan pada Tabel 1 berikut.
Kenaikan muka air laut
secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya
frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya
kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap
kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan
atau hilangnya pulau-pulau kecil.
Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir
disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek
sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya
adalah akibat terjadinya efek backwater
dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan
terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir
tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas
genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi.[1]
Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif
apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan
terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.
Kenaikan
muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir
juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja
kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan.
Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari
5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga
2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi
penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan
semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka :
abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang,
pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter
polutan, dan zona budidaya aquaculture
pun akan terancam dengan sendirinya.
Meluasnya
intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga
dipicu oleh terjadinya land subsidence
akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan
pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50%
dari luas wilayah Jakarta Utara.
Gangguan
terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan
kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap
permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur,
Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot
pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau,
kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307
juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan
keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang [i]hanya
berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional,[1]
dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS
Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada
pangan di Indonesia.
1. Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan
hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau,
tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran
garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang
mencapai 202.500 ha.[2]
2. Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir
lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan,
baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown – International Environmental
Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997 – 1998 saja tidak
kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat
pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni
antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil
langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi
lindung – akan menyebabkan run-off
yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada
wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar