Keberadaan limbah
yang bersumber dari industri kosmetik cukup mengkhawatirkan. Bahan beracun dan
berbahaya banyak digunakan sebagai bahan baku industri kosmetik maupun sebagai
penolong. Beracun dan berbahaya dari limbah ditunjukkan oleh sifat fisik dan
kimia bahan itu sendiri, baik dari jumlah maupun kualitasnya. Beberapa kriteria
berbahaya dan beracun telah ditetapkan antara lain mudah terbakar, mudah
meledak, korosif, oksidator dan reduktor, iritasi bukan radioaktif, mutagenik,
patogenik, mudah membusuk dan lain-lain. Dalam jumlah tertentu dengan kadar
tertentu, kehadirannya dapat merusakkan kesehatan bahkan mematikan manusia atau
kehidupan lainnya sehingga perlu ditetapkan batas-batas yang diperkenankan
dalam lingkungan pada waktu tertentu.
Industri kosmetik, saat ini lebih
terfokus pada upaya untuk melakukan efisiensi seiring makin melambungnya biaya
produksi, belanja pegawai hingga ongkos energi. Sehingga mau tak mau akan
menomorduakan persoalan pembuangan limbahnya. Apalagi pengolahan limbah memerlukan
biaya tinggi. Padahal limbah industri kosmetik sangat potensial sebagai
penyebab terjadinya pencemaran. Pada umumnya limbah industri kosmetik
mengandung limbah B3, yaitu bahan berbahaya dan beracun. Menurut PP 18/99 pasal
1, limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan
berbahaya dan beracun yang dapat mencemarkan atau merusak lingkungan hidup
sehingga membahayakan kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk
lainnya.
Hal tersebut tidak bisa dibiarkan karena cepat atau lambat pasti akan membawa dampak yang buruk bagi lingkungan ataupun bagi kesehatan manusia. Limbah industri harus ditangani dengan baik dan serius oleh Pemerintah Daerah dimana wilayahnya terdapat industri. Pemerintah harus mengawasi pembuangan limbah industri dengan sungguh-sungguh. Pelaku industri harus melakukan cara-cara pencegahan pencemaran lingkungan dengan melaksanakan teknologi bersih, memasang alat pencegahan pencemaran, melakukan proses daur ulang dan yang terpenting harus melakukan pengolahan limbah industri guna menghilangkan bahan pencemaran atau paling tidak meminimalkan bahan pencemaran hingga batas yang diperbolehkan. Di samping itu perlu dilakukan penelitian atau kajian-kajian lebih banyak lagi mengenai dampak limbah industri yang spesifik (sesuai jenis industrinya) terhadap lingkungan serta mencari metoda atau teknologi tepat guna untuk pencegahan masalahnya.
Hal tersebut tidak bisa dibiarkan karena cepat atau lambat pasti akan membawa dampak yang buruk bagi lingkungan ataupun bagi kesehatan manusia. Limbah industri harus ditangani dengan baik dan serius oleh Pemerintah Daerah dimana wilayahnya terdapat industri. Pemerintah harus mengawasi pembuangan limbah industri dengan sungguh-sungguh. Pelaku industri harus melakukan cara-cara pencegahan pencemaran lingkungan dengan melaksanakan teknologi bersih, memasang alat pencegahan pencemaran, melakukan proses daur ulang dan yang terpenting harus melakukan pengolahan limbah industri guna menghilangkan bahan pencemaran atau paling tidak meminimalkan bahan pencemaran hingga batas yang diperbolehkan. Di samping itu perlu dilakukan penelitian atau kajian-kajian lebih banyak lagi mengenai dampak limbah industri yang spesifik (sesuai jenis industrinya) terhadap lingkungan serta mencari metoda atau teknologi tepat guna untuk pencegahan masalahnya.
I.
PENGOLAHAN LIMBAH
Teknologi
pengolahan limbah adalah kunci dalam memelihara kelestarian lingkungan. Apapun
macam teknologi pengolahan limbah domestik maupun industri yang dibangun harus
dapat dioperasikan dan dipelihara oleh masyarakat setempat. Jadi teknologi
pengolahan yang dipilih harus sesuai dengan kemampuan teknologi masyarakat yang
bersangkutan. Berbagai teknik pengolahan limbah untuk menyisihkan bahan polutannya telah
dicoba dan dikembangkan selama ini. Teknik pengolahan air buangan yang telah
dikembangkan tersebut secara umum terbagi menjadi 3 metode pengolahan:
1.
Pengolahan secara fisika
2. Pengolahan
secara kimia
3. Pengolahan
secara biologi
Untuk suatu jenis air buangan tertentu,
ketiga metode pengolahan tersebut dapat diaplikasikan secara sendiri-sendiri
atau secara kombinasi.
1.
Pengolahan limbah secara fisika
Pada umumnya, sebelum dilakukan pengolahan lanjutan
terhadap air buangan, diinginkan agar bahan-bahan tersuspensi berukuran besar
dan yang mudah mengendap atau bahan-bahan yang terapung disisihkan terlebih
dahulu. Penyaringan (screening)
merupakan cara yang efisien dan murah untuk menyisihkan bahan tersuspensi yang
berukuran besar. Bahan tersuspensi yang mudah mengendap dapat disisihkan secara
mudah dengan proses pengendapan. Parameter desain yang utama untuk proses
pengendapan ini adalah kecepatan mengendap partikel dan waktu detensi hidrolis
di dalam bak pengendap.
Dalam
industri kosmetik, limbah cair secara umum diolah secara fisika dengan cara
pengendapan purifikasi sehingga dihasilkan air yang terpurifikasi yang dapat
direcycle untuk kegiatan yang lain. Namun dalam industri kosmetik terdapat
limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang biasanya berupa logam-logam berat
dan sisa-sisa pelarut yang bersifat toksik.
Untuk bahan-bahan yang mengapung seperti minyak
dan lemak agar tidak mengganggu proses pengolahan berikutnya digunakan proses
floatasi. Floatasi juga dapat digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan
tersuspensi atau pemekatan lumpur endapan dengan memberikan aliran udara ke atas.
Proses filtrasi dalam pengolahan air buangan biasanya dilakukan untuk
mendahului proses adsobrsi atau proses revers osmosis, untuk menyisihkan
sebanyak mungkin partikel tersuspensi dari dalam air agar tidak mengganggu
proses adsorbsi atau menyumbat membran yang dipergunakan dalam proses osmosis.
Proses adsorbsi biasanya menggunakan karbon aktif, dilakukan untuk menyisihkan
senyawa aromatik (fenol) dan senyawa organik terlarut lainnya, terutama jika
diinginkan untuk menggunakan kembali air buangan tersebut. Teknologi membran
(reverse osmosis) biasanya
diaplikasikan untuk unit-unit pengolahan kecil, terutama jika pengolahan
ditujukan untuk menggunakan kembali air yang diolah. Biaya instalasi dan
operasinya sangat mahal.
2.
Pengolahan secara kimia
Pengolahan
limbah industri kosmetik yang berupa logam berat dan sisa pelarut toksik secara
kimia dilakukan dengan pengikatan bahan kimia menggunakan partikel koloid.
Penyisihan bahan tersebut dilakukan melalui perubahan sifat bahan tersebut,
yaitu tak mudah diendapkan (flokulasi-koagulasi), baik dengan atau tanpa reaksi
oksidasi-reduksi, dan juga
berlangsung sebagai hasil reaksi oksidasi.
Gambar. Skema pengolahan secara kimia
Pengendapan
bahan tersuspensi yang tak mudah larut dilakukan dengan membubuhkan elektrolit
yang mempunyai muatan yang berlawanan dengan muatan koloidnya agar terjadi
netralisasi muatan koloid tersebut, sehingga akhirnya dapat diendapkan.
Penyisihan logam berat dan senyawa fosfor dilakukan dengan membubuhkan larutan
alkali (air kapur misalnya) sehingga terbentuk endapan hidroksida logam-logam tersebut atau endapan hidroksiapatit.
Endapan logam tersebut akan lebih stabil jika pH air > 10,5 dan untuk
hidroksiapatit pada pH > 9,5. Khusus untuk krom heksavalen, sebelum
diendapkan sebagai krom hidroksida [Cr(OH)3], terlebih dahulu direduksi menjadi
krom trivalent dengan membubuhkan reduktor (FeSO4, SO2, atau Na2S2O5). Penyisihan bahan-bahan organik
beracun seperti fenol dan sianida pada konsentrasi rendah dapat dilakukan
dengan mengoksidasinya dengan klor (Cl2), kalsium permanganat, aerasi, ozon
hidrogen peroksida. Pada dasarnya kita dapat memperoleh efisiensi tinggi dengan
pengolahan secara kimia, akan tetapi biaya pengolahan menjadi mahal karena
memerlukan bahan kimia.
Hasil
pengolahan limbah B3 dari industri kosmetik ini harus di buang . Salah satunya
dengan metode injection well
Sumur
injeksi atau sumur dalam (deep well
injection) digunakan di Amerika Serikat sebagai salah satu tempat
pembuangan limbah B3 cair (liquid
hazardous wastes). Pembuangan limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha
membuang limbah B3 ke dalam formasi geologi yang berada jauh di bawah permukaan
bumi yang memiliki kemampuan mengikat limbah, sama halnya formasi tersebut
memiliki kemampuan menyimpan cadangan minyak dan gas bumi. Hal yang penting
untuk diperhatikan dalam pemilihan tempat ialah struktur dan kestabilan geologi
serta hidrogeologi wilayah setempat. Limbah B3 diinjeksikan dalam suatu formasi berpori yang
berada jauh di bawah lapisan yang mengandung air tanah. Di antara lapisan
tersebut harus terdapat lapisan impermeable seperti shale atau tanah liat yang
cukup tebal sehingga cairan limbah tidak dapat bermigrasi. Kedalaman sumur ini
sekitar 0,5 hingga 2 mil dari permukaan tanah. Tidak semua jenis limbah B3 dapat
dibuang dalam sumur injeksi karena beberapa jenis limbah dapat mengakibatkan
gangguan dan kerusakan pada sumur dan formasi penerima limbah. Hal tersebut
dapat dihindari dengan tidak memasukkan limbah yang dapat mengalami presipitasi,
memiliki partikel padatan, dapat membentuk emulsi, bersifat asam kuat atau basa
kuat, bersifat aktif secara kimia, dan memiliki densitas dan viskositas yang
lebih rendah daripada cairan alami dalam formasi geologi. Hingga saat ini di Indonesia belum
ada ketentuan mengenai pembuangan limbah B3 ke sumur dalam (deep injection
well). Ketentuan yang ada mengenai hal ini ditetapkan oleh Amerika Serikat dan
dalam ketentuan itu disebutkah bahwa:
a.
Dalam kurun waktu 10.000 tahun,
limbah B3 tidak boleh bermigrasi secara vertikal keluar dari zona injeksi atau
secara lateral ke titik temu dengan sumberair tanah.
b.
Sebelum limbah yang diinjeksikan
bermigrasi dalam arah seperti disebutkan di atas, limbah telah mengalami
perubahan higga tidak lagi bersifat berbahaya dan beracun.
3.
Pengolahan secara biolog
Residu
alkohol yang berasal dari limbah kosmetik dipisahkan lalu difermentasikan.
Parameter yang mempengaruhi proses fermentasi ini antara lain adalah suhu, pH,
alkalinitas, DO, BOD, dan COD. Setelah difermentasikan, selanjutnya didestilasi
untuk dipisahkan etil alkohonya. Parameter proses destilasi antara lain: suhu
dan tekanan uap, Etil alcohol murni yang
didapatkan selanjutnya dapat digunakan lagi dalam industri kosmetik.
Selain
etil alkohol
dihasilkan pula etanol. Etanol yang
dihasilkan dari destilasi ini selanjutnya digunakan sebagai ‘green fuel’.
Sedangkan residu sisanya dievaporasi. Kondensat hasil evporasi disaring dengan
menggunakan trickling filter menghasilkan air yang dapat digunakan dalam proses
industri serta untuk menyiram tanaman. Sisa dari proses evaporasi dapat
dijadikan pakan konsentrat.
Produk
limbah cair etil alkohol banyak digunakan untuk menggantikan sumber energi yang
tidak dapat diperbarui seperti bahan bakar fosil. Sebagai sumber yang dapat
diperbarui, etanol memiliki keuntungan yang berarti bagi lingkungan. Sebagai
contoh, ketika digunakan sebagai bahan bakar tambahan dalam automobile, etanol sendiri dapat:
a.
Mengurangi gas knalpot dan gas
greenhouse hingga 10%
b.
Mengurangi pelepasan karbondioksida dan gas beracun tinggi-hingga 30%
c.
Menghasilkan reduksi bersih pada lapisan
bawah ozon, komponen besar dari asap dan bahaya kesehatan bagi anak-anak dan
dewasa untuk masalah pernapasan
d.
Membantu mengurangi ketergantungan
negeri kita dalam impor minyak asing.
Selain itu
pengolahan limbah secara biologi dapat dilakukan dengan metode lumpur aktif.
Pengolahan sistem lumpur aktif adalah metode pemprosesan limbah dengan
mempelajari proses dekomposisi secara mikrobiologis yang dikenal dengan
biodegradasi oleh mikroorganisme pengurai. Lumpur akan mengandung berbagai
jenis mikroorganisme heterotrofik termasuk bakteri yang memiliki peran penting
dalam proses pembersihan secara biologis. Bakteri dapat memanfaatkan bahan
terlarut maupun yang tersuspensi dalam air sebagai energi. Bakteri tersuspensi
dalam lumpur digunakan untuk mengolah limbah secara mikrobiologis dapat
dikembangkan dengan pembibitan (seeding)
lumpur yang berasal dari ekosistem alam yang terkontaminasi, tercemar, maupun
dari ekosistem alami yang memiliki sifat-sifat khas ataupun ekstrim. Salah satu
limbah yang dapat diolah dengan metode tersebut adalah limbah deterjen.
Deterjen adalah senyawa sintetik yang termasuk surface active agent. Deterjen
merupakan salah satu bahan pencuci yang banyak digunakan sebagai zat pencuci
untuk keperluan kosmetik karena memiliki sifat sebagai pendispersi, pencuci dan
pengemulsi. Penyusun utama deterjen adalah Dodecyl Benzene Sulfonat (DBS). DBS
berfungsi untuk menghasilkan busa. Keberadaan busa-busa tersebut dapat
membatasi kontak udara-air sehingga organisme air akan kekurangan oksigen.
Adapun metode penelitian yang digunakan untuk menguji kemampuan bakteri dalam
mengolah limbah deterjen (DBS) adalah sebagai berikut:
a.
Sampling Sedimen Sungai Tebe
Sedimen diambil dari dasar sungai
kemudian disimpan dalam box sampel suhu 40 C. Sedimen lalu diisolasi bakteri
dengan media benzene sulfonat (2 g DBS, 1 g NPK, 0,4 g Mg.SO4.7 H20)
b.
Penentuan waktu eksponensial melalui kurva pertumbuhan bakteri.
Media cair berisi 500 ml masing-masing dimasukkan dalam 2 erlenmeyer 1 L. Kemudian media ditambahkan isolat bakteri secara aseptik dan media lain sebagai kontrol. Media lalu diaerasi, pertumbuhan isolat bakteri diukur dengan turbidimeter setiap 1 jam selama 12 jam. Dari hasil tersebut akan diperoleh waktu pertumbuhan bakteri saat mencapai eksponensial.
Media cair berisi 500 ml masing-masing dimasukkan dalam 2 erlenmeyer 1 L. Kemudian media ditambahkan isolat bakteri secara aseptik dan media lain sebagai kontrol. Media lalu diaerasi, pertumbuhan isolat bakteri diukur dengan turbidimeter setiap 1 jam selama 12 jam. Dari hasil tersebut akan diperoleh waktu pertumbuhan bakteri saat mencapai eksponensial.
c. Pembibitan (Seeding)
dan pertumbuhan
isolat bakteri yang diinokulasikan dalam lumpur aktif. Waktu pembibitan disesuaikan dengan
kurva pertumbuhan bakteri, dimana larutan bibit telah siap dipanen saat
mencapai fase eksponensial.
d.
Penentuan Kemampuan Biodegradasi DBS
oleh isolat bakteri
air limbah disiapkan dengan cara melarutkan 1 g DBS; 0,5 g NPK dan 0,2 g MgSO4.7H2O ke dalam 1 liter akuades. Campuran digojog hingga homogen. Larutan tersebut mengalami proses aerasi. Sebelum larutan bibit dipindahkan ke dalam reaktor, kadar DBS daripada larutan bibit yang telah mencapai fase eksponensial diukur sebagai faktor koreksi yaitu untuk mengetahui kadar DBS yang tersisa saat proses pembibitan. Larutan bibit sebanyak 200 ml dimasukkan dalam gelas beker dan juga 800 ml limbah DBS. Selain larutan tersebut juga dibuat larutan kontrol.
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa proses biodegradasi Dodecyl Benzena Sulfonat (DBS) dengan menggunakan isolat bakteri dari sedimen sungai Tebe Denpasar menunjukkan penurunan kadar DBS selama 7 hari pengolahan.
air limbah disiapkan dengan cara melarutkan 1 g DBS; 0,5 g NPK dan 0,2 g MgSO4.7H2O ke dalam 1 liter akuades. Campuran digojog hingga homogen. Larutan tersebut mengalami proses aerasi. Sebelum larutan bibit dipindahkan ke dalam reaktor, kadar DBS daripada larutan bibit yang telah mencapai fase eksponensial diukur sebagai faktor koreksi yaitu untuk mengetahui kadar DBS yang tersisa saat proses pembibitan. Larutan bibit sebanyak 200 ml dimasukkan dalam gelas beker dan juga 800 ml limbah DBS. Selain larutan tersebut juga dibuat larutan kontrol.
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa proses biodegradasi Dodecyl Benzena Sulfonat (DBS) dengan menggunakan isolat bakteri dari sedimen sungai Tebe Denpasar menunjukkan penurunan kadar DBS selama 7 hari pengolahan.
II.
CONTOH
PENGOLAHAN LIMBAH KOSMETIK DI INDONESIA
Limbah cair dari PT P&G terutama mengandung bahan organik
yang tinggi yang berasal dari produksi shampo (80 % dari total limbah). Sistem pengolahan
limbah cair PT P&G dilakukan secara kombinasi fisik-kimia-biologis.
Pengolahan kimia yang digunakan adalah proses koagulasil flokulasi, sedangkan
proses biologis yang digunakan adalah proses lumpur aktif (activated sludge).
Pengolahan
kimia dengan proses koagulasi/flokulasi menggunakan bahan kimia Na2CO3 untuk
pengaturan pH, PAC sebagai koagulan, dan polimer anionik sebagai koagulan
pembantu. Berdasarkan percobaan yang dilakukan, didapatkan dosis optimum
koagulan yang digunakan, yaitu Na2CO3 sebesar 600 ppm, PAC sebesar 4000 ppm,
dan polimer anionik sebesar 1.5 ppm.
Efisiensi yang diperoleh adalah zat padat tersuspensi (SS) tebesar 80,3%
dan COD sebesar 80,8%.
Pengolahan
biologis baik dengan proses lumpur aktif maupun gabungan proses anaerob-aerob
dalam reaktor tipe fixed film dilakukan dengan menggunakan tiga variasi waktu
tinggal (detention time), yaitu 24 jam, 48 jam, dan 72 jam.
Pengolahan
limbah cair dengan proses anaerob
dan aerob dalam reaktor tipe fixed film (AAFBR) dengan waktu tinggal 24
jam dapat menurunkan COD maksimum sebesar 34,94%, dengan waktu tinggal 48 jam
sebesar 75,34%, sedangkan dengan waktu tinggal 72 jam sebesar 81,53%.
Sedangkan
proses lumpur aktif dengan waktu tinggal 24 jam dapat menurunkan COD maksimum
sebesar 52,01%, dengan waktu tinggal 48 jam sebesar 68,29%, dan dengan waktu
tinggal 72 jam sebesar 76,22%.
Berdasarkan pengamatan, terlihat bahwa persentase
penyisihan COD pada proses aerob cenderung menurun dengan bertambahnya waktu
tinggal. Sebaliknya dengan proses anaerob, persentase penyisihan COD pada
proses aerob semakin meningkat dengan bertambahnya waktu tinggal. Yang perlu
diperhatikan bahwa tenyata
efisiensi pengolahan Iimbah cair dengan proses koagulasi/flokulasi (proses
fisik kimia), proses lumpur aktif dan proses anaerob-aerob (proses
fisik-biologi) yang dilakukan secara terpisah belum dapat menurunkan beban COD
sampai memenuhi baku mutu limbah yang berlaku. Untuk memperoleh efisiensi
pengolahan yang dapat menurunkan beban COD sampai memenuhi baku mutu maka
dilakukan penggabungan terhadap ketiga proses.
III.
STUDI KASUS PENGOLAHAN LIMBAH CAIR KOSMETIK DI
SEBUAH PERUSAHAAN KOSMETIK AMERIKA KMS (KOCH MEMBRANE SYSTEM )
Industri kosmetik menghasilkan limbah sebagai akibat dari
pembersihan alat-alat pencampuran, pengemas dan lantai. Limbah ini sering mengandung minyak, lemak, padatan tersuspensi dan surfaktan. Konsentrasi dari polutan ini beragam tergantung pada
jenis dan ukuran operasional industri kosmetik. Aliran limbah juga berubah-ubah
secara signifikan karena siklus operasi
dari fasilitas industri. Penting
dilakukan sistem pengolahan limbah yang secara efektif dan ekonomis dapat menangani variabilitas limbah tanpa berpengaruh
pada kualitas efluen.
Metode konvensional untuk
menangani kosmetik meliputi penggunaan bahan kimia yang berhubungan dengan
penetapan kejernihan air, alat dissolved
air flotation, dan rotary drum vacuum
filters. Sejak tahun 1980, KMS ( Koch Membrane System ) telah menggunakan
ultrafiltrasi (UF).
Keuntungan ultrafiltrasi adalah sebagai berikut:
1.
Tidak membutuhkan bahan kimia seperti polimer
atau koagulan lain
2. Mudah dioperasikan dan hanya butuh sedikit
tenaga operator
3. Konsisten dan efluent kualitas tinggi
dapat dicapai dengan ultrafiltrasi walaupun komposisi limbah cair “mentah”
sangat beragam.
KMS telah menyediakan lebih dari 20 sistem
ultrafiltrasi untuk pengolahan limbah cair industri. Sistem UF menggunakan baik
tubular (1" FEG™-Plus, salah satunya membran HFM-251 atau
HFP-276 ) dan hollow fiber (membran XM atau CM) produk membran. Sistem UF KMS
telah berhasil mencapai pengurangan volume 10 -100 kali tergantung komposisi bahan dan membran yang digunakan. Dikarenakan
komposisi limbah cair industri kosmetik beragam maka fluks membran hanya dapat
ditentukan dengan ploting sebenarnya.
Untuk
tubular 1”, produk-produk FEG™, fluks membran pada metode ini berkisar antara 30 - 40 GFD
(51 - 68 lmh). Untuk produk hollow fiber KMS , fluks berkisar dari 15 - 25 GFD (26 - 43
lmh). Beberapa hasil parameter
pengolahan limbah industri kosmetik dengan sistem UF sbb :
Rekomendasi Pretreatment
untuk sistem UF meliputi penghilangan minyak free floating dan padatan . Kantung filter 200 mikron direkomendasikan sebagai prefiltrasi untuk
membran fiber sementara membran tubular FEG™ hanya membutuhkan 3000 mikron
filter.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2005. Parallel Products, The Waste Management and
Resource Recovery Experts.
Fitriani Niza. 2010. Optimasi pengolahan limbah cair dengan proses fisika-kimia-biologi :
studi kasus industri permen, kosmetik, dan farmasi, pt procter & gamble
indonesia. Jakarta. Tersedia online : http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=75272&lokasi=lokal diakses 4 oktober 2010
Koch Membrane Systems, Inc., 2005, Application Bulletin
Cosmetics Wastewater Treatment , www.kochmembrane.com diakses 4 oktober 2010
Ritariata.blogspot, 2010, Pengolahan Limbah Cair Pada Industri. http://ritariata.blospot.com
diakses pada tanggal 14
Oktober 2010 pada pukul 23.39 WIB
Majaromagazine, 2008, Teknologi Pengolahan Limbah B3. http://majarimagazine.com diakses pada tanggal 14 Oktober 2010 pada
pukul 23.39 WIB
Scribd, 2010, Jenis
dan Karateristik Limbah B3, http://www.scribd.com diakses pada tanggal 14 Oktober 2010 pada pukul 23.42 WIB
Putra prabu, 2008, Identifikasi dan Karakterisasi Limbah B3, http://putraprabu.wordpress.com diakses pada
tanggal 14 Oktober 2010 pada pukul 23.39
WIB
Opixcute.blogspot, 2009, Penyebab BOD dan COD, http://opixcute.blogspot.com diakses pada tanggal 15 Oktober 2010
pada pukul 00.13 WIB
Chemistry, 2009, Pretretment pada Pengolahan Limbah, http://Chem-Is-Try.Org/2009/06/08/Pretreatment
pada pengolahan limbah.htm diakses pada tanggal 15 Oktober 2010 pada pukul 00.13 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar