Partisipasi Rakyat
Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Wilayah Kelola Masyarakat Adat Semende dan
TNBBS
A. Sekilas
Tentang TNBBS
1.
Penetapan TNBBS
Kawasan
Lindung Bukit Barisan Selatan (BBS) pada awalnya ditetapkan tahun 1935 sebagai
Kawasan Suaka Marga Satwa, melalui Besluit Van der Gouvernour-Generat Van
Nederlandseh Indie No 48 stbl. 1935, dengan nama SS I (Sumatra Selatan
I). Selanjutnya, pada 1 April 1979 kawasan BBS (Bukit Barisan Selatan)
ini memperoleh setatus kawasan sebagai Kawasan Pelestarian Alam.
Pada
tahun 1982 tepatnya, tanggal 14 Oktober 1982 status kawasan ini dikukuhkan
sebagai Taman Nasional melalui Surat Pernyataan Menteri Pertanian
No. 736/Mentan/X/ 1982. Kemudian pada tahun 1997 melalui SK Menteri Kehutanan
No. 185/Kpts-II/ 1997 tanggal 31 Maret 1997, dengan nama Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan (TNBBS).
Kawasan
hutan TNBBS meliputi arela seluas + 356.800 Ha, membentang dari ujung selatan
Bagian Barat Propinsi Lampung dan memanjang hingga wilayah Provinsi Bengkulu
bagian selatan. Menurut Administrasi Pemerintahan kawasan ini
termasuk dalam wilayah Kabupaten Tenggamus, Kabupaten Lampung Barat dan
Kabupaten Kaur Bengkulu. Bagian tengah hingga utara sebelah timur Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan berbatasan dengan Propinsi Sumatera Selatan.
Dari
luasan tersebut kawasan taman nasional ini, 18 % luasnya merupakan
wilayah Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu, sebagaimana tertuang
dalam SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan. No. 420/ Kpts-II/ 1999,
tentang: penunjukan kawasan hutan di wilayah provinsi daerah tingkat I
Bengkulu, yaitu seluas 64.711 Ha.
Fungsi
Kawasan hutan kelompok hutan pelestarian alam ini sangat banyak antara
lain, sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya. Yang memiliki nilai manfaat secara ekonomi, sosial, budaya, dan
estitika, baik dirasakan secara langsung maupun tidak.
Secara
hidrologi, merupakan bagian hulu dari sungai-sungai yang akan mengalir kedaerah
pemukiman dan pertanian di daerah hilir sehingga berperan sangat penting
sebagai daerah tangkapan air (catchment
area) dan melindungi sistem tata air.
2. Wilayah Adat Semende
Dalam
proses penetapannya menjadi kawasan Taman Nasional oleh Pemerintah RI, ada
banyak konflik yang timbul berawal dari tidak diikutsertakannya masyarakat
lokal/adat disekitar kawasan, terutama dalam proses penetapan tata batas.
Ketidak ikutsertaan masyarakat adat ini menyebabkan hak-hak adat yang mempunyai
kekuatan hukum atas wilayah adatnya tersebut juga ikut terabaikan bahkan tidak
ada pengakuan sama sekali dari Pemerintah.
Di
Bengkulu penetapan kawasan taman nasional telah banyak mendapat perotes dari
masyarakat. Salah satunya, perotes dari masyarakat adat semende. Protes ini
timbul karena hutan ulayat dan wilayah kelolah mereka di tetapkan menjadi
kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Dengan ditetapkannya kawasan
TNBBS di wilayah kelola mereka, masyarakat secara otomatis tidak dapat
mengelola tanah kelolanya tersebut. Kebun yang sebelumnya dikelola dengan baik
dan memberikan manfaat bagi mereka, tidak dapat dikelola kembali. Mereka tidak
nyaman dan tenang dalam berusaha bahkan mereka secara paksa diusir dari wilayah
tersebut.
Dalam
undang-undang dasar 1945 dan perundangan yang mengikutinya jelas diatur dan
diakui hak-hak masyarakat adat. Dalam Undang-Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999
dijelaskan, Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat
hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Sebagai
kekuatan hukum keberadaan Suku Semende Dusun Banding Agung di daerah ini adalah
dengan adanya surat Pengakuan dari Pemerintah Belanda tertanggal 22 Agustus
1891 berupa Surat Keterangan yang ditandatangani langsung oleh Van Hille
sebagai Contholeur Van Kauer ditujukan kepada Amat sebagai Depati Banding Agung
yang bergelar Depati Matjan Negara yang isinya menerangkan bahwa Banding
Agung (sebagai wilayah adat Semende) masuk dalam Marga Muara Nasal Bintuhan,
Afdeling Kauer dan berada di luar Batas Boss Weizen (BW) serta bukti- bukti
lapangan yang menunjukan bahwa lahan tersebut merupakan wilayah kelola mereka.
B. Kebijaksanaan dan Strategi Balai
Berdasarkan
INFORMASI MENGENAL TNBBS dari Balai-TNBBS, tentang kebijaksanaan sektor
kehutanan, khususnya bidang perlindungan dan konservasi alam, ada berberapa hal
yang dapat digunakan masyarakat untuk terlibat dan meminta dilakukannya revisi
kawasan TNBBS, kebijaksanaan tersebut antara lain:
- Pengelolaan TNBBS
diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan, membangun dan memberdayakan
masyarakat sekitar Taman Nasional.
- Pengelolaan TNBBS
dengan parardigma konservasi berbasis masyarakat (Community Based
Conservation and Park Management) dilaksanakan dengan merubah fungsi
zona-zona tertentu untuk memberikan lebih banyak akses masuk bagi
masyarakat dan berperan serta aktif dalam pengelolaan.
- Sesuai kebijaksanaan
teknis tersebut, maka strategi pengelolaan TNBBS dikembangkan dengan
menjalankan dan meningkatkan fungsi kawasan TNBBS yang titik prioritasnya,
pengelolaan:
- Dalam rangka
meningkatkan pengelolaan dan menjalankan fungsi-fungsi kawasan diperlukan
upaya-upaya pemantapan kawasan terutama tata batas;
- Pengembangan TNBBS
diarahkan tidak saja pada aspek-aspek lingkungan hidup, tetapi juga untuk
perlindungan dan pembangunan masyarakat baik yang secara indigenous berada
dalam kawasan maupun yang berada di sekitar kawasan TNBBS;
- Dalam rangka
pengelolaan TNBBS perlu terus digalang dan ditingkatkan upaya-upaya
koordinasi dan kemitraan mulai dari perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan dan evaluasi secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan;
- Dalam rangka mencapai
pengelolaan diperlukan uapaya-upaya pengenalan, pemberian informasi,
penyamaan persepsi dan promosi untuk menarik minat, menumbuhkan apresiasi
dan dukungan seluruh pihak terkait dan masyarakat luas terhadap
keberadaan, integritas dan pengelolaan kawasan TNBBS.
C. Masyarakat Hukum Adat
Pengurusan
hutan di Indonesia bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya
serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Sedangkan Tujuan
pengelolaan hutan adat oleh Masyarakat Hukum Adat adalah untuk mewujudkan
keberadaan sumber daya hutan yang berkualitas tinggi, memperoleh manfaat
ekonomi, sosial budaya dan menjamin ekologi yang sehat dan lestari, serta
menjamin distribusi manfaatnya secara adil dan merata, khususnya terhadap
anggota masyarakat hukum adat setempat dan atau sekitarnya.
Untuk
mendapat hak melakukan pengelolaan hutannya, ada berberapa kriteria keberadaan
masyarakat hukum adat yang harus dipenuhi, unsur-unsur tersebut antara
lain:
- Masyarakatnya masih
dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap) dan bertempat tinggal di dalam
wilayah hukum adat yang bersangkutan;
- Ada kelembagaan dalam
bentuk perangkat penguasa adat (Struktur Kelembagaan Adat) yang masih
berfungsi;
- Mempunyai wilayah hutan
adat yang jelas batas-batasnya dan diakui/disepakati oleh masyarakat dan
antar masyarakat hukum adat di sekitarnya;
- Ada pranata hukum adat
yang berkaitan dengan hutan dan masih ditaati, dan masih diberlakukannya
peradilan adat;
- Masyarakat yang
bersangkutan masih melaksanakan pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan di
hutan sekitarnya untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari dan atau masih
adanya hubungan religi dan hubungan kemasyarakatan dengan hutan adatnya.
- Masyarakat di dalam dan
di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses
dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya akibat penetapan kawasan hutan. Dan setiap orang berhak
memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai
akibat dari adanya penetapan kawasan hutan.
D. Hak dan Kewajiban
Masyarakat
adat dalam keikutsertaannya melakukan kontrol dan akses terhadap pengelolaan
sumberdaya alam terutama hutan, menurut Rancangan Undang-undang tentang Hutan
Adat disebutkan, masyarakat berhak:
- Mengelola hutan yang
berada dalam wilayah hukum adatnya;
- Mempraktekkan
pengetahuan, teknologi dan kearifan setempat dalam mengelola hutan;
- Memperoleh pendampingan
dan fasilitasi dari pemerintah dan atau pemerintah daerah dan LSM dalam
rangka pemberdayaannya;
- Memperoleh perlindungan
dari pemerintah dan atau pemerintah daerah;
- Berpartisipasi dalam
pengurusan hutan dan pengawasan hutan.
Masyarakat
Hukum Adat yang diakui keberadaannya wajib:
- Memelihara dan menjaga
hutan dari kerusakan;
- Memanfaatkan hutan
sesuai dengan fungsi pokoknya;
- Melakukan rehabilitasi
dan rekoisasi hutan adat;
- Sesuai tahapan
pemanfaatan hutan adat, membayar pajak bumi dan bangunan atas lahan hutan
adat.
E. Partisipasi Masyarakat
Hutan
adat sebagaimana yang diakui Undang-Undang Kehutanan adalah hutan negara
yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Namun Masyarakat hukum adat
akan diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dan dengan
keberadaannya diberbolehkan:
- Melakukan pemungutan
hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat
yang bersangkutan;
- Melakukan kegiatan
pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak
bertentangan dengan undang-undang; dan
- Mendapatkan
pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Selain
melakukan pengelolaan hutan di wilayah hukum adat, masyarakat juga dapat
berpartisipasi dalam pengelolaan hutan melalui pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
yaitu hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh Menteri untuk
diusahakan oleh masyarakat setempat dengan tujuan pemanfaatan hutan secara
lestari sesuai dengan fungsinya dan dengan menitikberatkan kepentingan
menyejahterakan masyarakat.
Kawasan
hutan yang dapat dijadikan areal hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan
produksi, hutan lindung dan kawasan pelestarian alam (termasuk TAMAN NASIONAL)
pada zonasi tertentu, yang tidak dibebani hak-hak lain di bidang kehutanan.
F. Penutup
Kelemahan
dalam pengelolaan yang selanjutnya menimbulkan permasalahan-permasalahan klasik
yang menghambat pengembangan Taman Nasional di Bengkulu dan Indonesia secara
umum adalah Penetapan kawasan Taman Nasional yang tidak melibatkan masyarakat
disekitar hutan.
Kasus di Kabupaten Kaur, masyarakat adat semende harus rela diusir hanya karena mereka tidak terlibat dalam penetapan batas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Semua orang mengetahui dan memahami bahwa aturan di Indonesia langkap dan cukup baik, jika semua dijalankan dengang sungguh-sungguh. Namun banyak hal yang mengakibatkan penyimpangannya. Karena itu, jika penegak hukum dan pemangku kebijakan tidak aktif dalam menerima aspirasi masyarakat maka masyarakat adat-lah yang harus aktif menyampaikan aspirasi dan keinginannya
Kasus di Kabupaten Kaur, masyarakat adat semende harus rela diusir hanya karena mereka tidak terlibat dalam penetapan batas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Semua orang mengetahui dan memahami bahwa aturan di Indonesia langkap dan cukup baik, jika semua dijalankan dengang sungguh-sungguh. Namun banyak hal yang mengakibatkan penyimpangannya. Karena itu, jika penegak hukum dan pemangku kebijakan tidak aktif dalam menerima aspirasi masyarakat maka masyarakat adat-lah yang harus aktif menyampaikan aspirasi dan keinginannya
Sumber : www.walhi.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar