Welly Yusup

Welcome to my blog

Sabtu, 13 Juli 2013

Karet

 
Karet diyakini dinamai oleh Joseph Priestley, yang pada 1880 . Ia menemukan Lateks yang dikeringkan dapat menghapus tulisan pensil. Ketika karet dibawa ke Inggris , dia diamati bahwa benda tersebut dapat menghapus tanda pensil di atas kertas. Ini adalah awal penamaan rubber dalam bahasa Inggris. Di tempat asalnya, di Amerika Tengah dan Amerika Selatan , karet telah dikumpulkan sejak lama. Peradaban Mesoamerika menggunakan karet dari Castilla elastica. Orang Amerika Tengah kuno menggunakan bola karet dalam permainan mereka (lihat: permainan bola Mesoamerika ). Menurut Bernal Diaz del Castillo, Conquistador Spanyol sangat kagum terhadap pantulan bola karet orang Aztek dan mengira Bahwa bola tersebut dirasuki roh setan. Di Brasil orang lokal membuat baju tahan air dari karet. Sebuah cerita menyatakan bahwa orang Eropa pertama yang kembali ke Portugal dari Brasil dengan membawa baju anti-air tersebut menyebabkan orang-orang terkejut sehingga ia dibawa ke pengadilan atas tuduhan melakukan ilmu gaib.
Pemanfaatan karet sebagai bahan baku Industri semakin meluas di dunia didukung dengan hasil penelitian yang inovatif kala itu sehingga permintaan karet melonjak maka usaha budidaya karet diluar Amazon mulai digalakkan.
Karet yang digunakan oleh bangsa Eropa kala itu, seluruhnya didatangkan dari Brazil dalam bentuk koagulum karet sehingga pemanfaatnya dalam industri juga masih terbatas. Titik terang industri karet di eropa mulai tampak berkat penemuan Charles Manchintos di tahun 1818 bahwa coal tar naphta limbah dari pengolahan batu bara dapat dimanfaatkan sebagai pelarut karet yang efektif dan ekonomis. Dengan penemuannya, Manchintos mampu membuat jas hujan dengan melapisi permukaan lembaran karet dengan coal tar naptha kemudian merekatkan kedua permukaan karet yang telah terlapisi tadi. Manchintos kemudian mematenkan teknik pembuatan jas hujan ini pada tahun 1823. 
Pada awalnya, penanaman Hevea di Indonesia kurang mendapat respon positif karena masyarakat telah lebih dahulu mengenal pohon lokal yang juga menghasilkan getah yaitu Fiscus elastica. Pohon berdaun lebar dan bersinar ini merupakan pohon favorit masyarakat Belanda. Selain itu juga pemerintah Belanda lebih menyukai menanam pohon karet jenis Manihot glaziovii yang tumbuh dengan baik di propinsi dengan iklim kering di Brasil yaitu Ceara dan Castiloa elastica yang aslinya berasal dari Mexico dengan anggapan bahwa pohon karet Hevea hanya mampu tumbuh didaerah dengan kelembaban tinggi. Tahun 1889, Pemerintah Belanda membuka perkebunan karet di daerah Pamanukan dan Ciasemlanden, Jawa Barat dengan karet yang ditanam jenis Fiscus elastica. Perkebunan ini dianggap sebagai perkebunan karet tertua di dunia. Hasil dari perkebunan kurang memuaskan karena produktivitas lateks rendah dan tanaman mudah terserang hama dan penyakit. Industrialis Inggris lainnya, Thomas Hancock menyadari kesulitan melarutkan karet dalam pelarut tertentu. Oleh karena itu beliau memikirkan cara lain dalam memproses karet yang jauh lebih mudah daripada dengan melarutkannya yaitu dengan melunakkan karet. Teknik ini dikenal dengan mastikasi dengan melewatkan karet pada roll silinder yang berputar pada arah dan kecepatan berlawanan. Alat mastikasi dinamakan mastikator. Pada tahun 1837, Hancock memantenkan mastikator.
Penemuan Hancock mengilhami industrialis di belahan benua lain dalam mengembangkan proses pengolahan karet, misalnya E.M. Chaffee dari Roxburg Rubber Company di Amerika Serikat yang mematenkan teknik calendering di tahun 1836 dan  H. Bewley mematenkan ekstruder unuk gutta percha tahun 1845. Kembali ke Inggris, Hancock menyatakan tertarik dengan usaha yang dijalankan Manchintos, keduanya mengumumkan bekerja sama memproduksi Macintosh coats atau Mackintoshes.
Umumnya barang jadi karet termasuk jas hujan produksi perusahaan Hancock dan Manchintos, belum mampu memenuhi kepuasan konsumen karena mengeras di musim dingin dan melembek saat terkena suhu tinggi. Charles Goodyear melihat penonema ini sebagai peluang untuk membawa perubahan di industri karet. Goodyear terus melakukan penelitian agar dapat merubah sifat plastis karet. Pada tahun 1839, di laboratorium miliknya secara tidak sengaja Goodyear menumpahkan sulfur pada karet yang berada di dekat perapian dan pada keesokan harinya Goodyear menemukan bahwa karet berubah menjadi elastis.Goodyear menyadari jika sulfur dan panas dapat merubah sifat karet. Goodyear kemudian menamakan temuannya dengan vulkanisasi.
Selain penemuan Hancock dengan mastikasinya dan vulkanisasi oleh Goodyear, masih banyak hasil penemuan tentang teknologi pengolahan karet antara lain  ditemukannya accelerator yang mempersingkat waktu vulkanisasi oleh Hofmann dan Goltop, Alexander Parkes menemukan teknik cold vulcanization yang menggunakan larutan sulfur klorida di dalam karbon disulfida, disusul oleh S.J. Peachey  pada tahun 1918 menemkan cara vulkanisasi menggunakan sulfur aktif. Kemudian W. Oswald menemukan bahan pencegah degradasi pada barang jadi karet yaitu anilin dan bahan aromatis lainnya. Dan terakhir penggunaan carbon black dalam industri karet yang dapat meningkatkan sifat mekanik barang jadi karet. Hasil penelitian-penelitian tersebut menjadi pelopor perkembangan modernisasi dalam industri karet di dunia sehingga menyebabkan pemanfaatan karet di industri semakin luas antara lain sebagai ban, selang dan peralatan kedokteran. Hal ini turut berimbas terhadap naiknya permintaan karet alam yang tidak dapat dipenuhi oleh Brazil sebagai satu-satunya produsen karet alam di dunia pada abad ke-19. Hancock yang mampu membaca situasi krisis karet ini mulai mempelopori penanaman karet Hevea brasilinsies. Pada tahun 1835, Hancock mendekati Direktur Botanical Garden Kew London, Sir William Hooker dan menasehatinya untuk turut membantu mengenalkan dan mulai menanam pohon karet Hevea di wilayah kolonial Inggris yang berada Asia. Namun ide ini kurang direspon oleh Sir William Hooker. Beberapa tahun kemudian kesadaran untuk mulai membudidayakan pohon karet, diawali oleh Sir Clements Markham, pegawai pemerintahan Inggris di India. Beliau kemudian meminta James Collin yang telah terlebih dahulu mempelajari karet untuk mengerjakan proyek penanaman tersebut. Hasil studi Collin dipublikasikan tahun 1872 dan menjadi perhatian Direktur Kew Botanic Garden yang baru, Sir Joseph Hooker, putra dari Sir William Hooker. Selanjutnya Joseph Hooker berkerja sama dengan James Collin dalam usaha membudidayakan karet. Joseph Hooker membeli sekitar 2000 biji karet dari Farris atas permintaan Collin. Biji karet tersebut dicoba dikecambahkan namun pada akhirnya hanya 12 biji yang berhasil tumbuh hingga menjadi tanaman karet baru.
Ketertarikan untuk membudidayakan karet muncul dari bangsawan Inggris lainnya, Sir Henry Wickman yang menjelajahi hutan Amazon untuk mengumpulkan biji karet dan pada akhirnya berhasil membawa sekitar 70.000 biji karet ke Inggris tahun 1876. Biji karet Wickman kemudian dikecambahkan di Kew Botanical Garden namun hanya sekitar 2000 biji saja yang mampu berkecambah. Usaha budidaya karet juga terus dilakukan oleh Sir Clements Markham, beliau mengutus Robert Cross ke Amazon untuk mengumpulkan biji karet seperti yang dilakukan oleh Sir Wickman. Cross kembali ke Inggris dan berhasil membawa 1080 biji namun hanya 3% saja yang mampu bertahan selama perjalanan dari Brazil ke Inggris tanpa menjadi busuk.
Seratus buah biji karet Wickman yang berhasil tumbuh menjadi bibit perkecambahan kemudian dikirim ke Ceylon (sekarang Sri Langka) dari Kew Botanical Garden pada bulan September 1876. Selanjutnya di bulan Juni 1877, Kew Botanical Garden kembali mendistribusikan 22 tanaman karet dengan tujuan Singapore Botanical Garden. Tanaman karet tersebut diterima oleh Henry Ridley selaku Direktur Singapore Botanical Garden yang selanjutnya dijuluki ”mad Ridley” karena kegigihannya dalam membudidayakan tanaman karet di tanah Malaya. Henry Ridley menanam 75% dari tanaman itu di Residency Garden di Kuala Kangsar kemudian di tahun 1884, Frank Swettenham menanam 400 bijih di Perak dimana bijih ini merupakan hasil pohon karet yang ditanam di kuala kangsar dan selanjutnya antara tahun 1883 – 1885 ditanam di Selangor oleh T. H. Hill. Ridley juga mengenalkan teknik eksploitasi getah karet dengan penyadapan tanpa menebang pohon karetnya.
Di tahun 1876 Kew Botanical Garden juga mengirimkan 18 buah biji karet ke pemerintahan kolonial India Belanda (sekarang Indonesia) namun demikian hanya dua buah biji yang berhasil tetap segar selama diperjalanan. Dua biji ini kemudian ditanam di Cultuurtuin Bogor sebagai koleksi dan menjadi pohon karet tertua di Indonesia. (Sumber : Santi, 2009, Sejarah Karet, Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor)
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar