Welly Yusup

Welcome to my blog

Sabtu, 06 Juli 2013

4.4. PENGARUH TERHADAP TATA RUANG


Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, pesisir merupakan kawasan strategis dengan berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya sehingga berpotensi menjadi prime mover pembangunan nasional. Karakteristik wilayah pesisir Indonesia diantaranya adalah : 

q  Meliputi 81,000 km panjang garis pantai dengan 17,508 pulau yang sangat beraneka ragam karakteristiknya.

q  Dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60% dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai.[1] Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan datang.

q  Terdapat 47 kota pantai mulai dari Sabang hingga Jayapura sebagai pusat pelayanan aktivitas sosial-ekonomi pada 37 kawasan andalan laut sekaligus sebagai pusat pertumbuhan kawasan pesisir.

q  Mengandung potensi sumber daya kelautan yang sangat kaya, seperti (a) pertambangan dengan diketahuinya 60 cekungan minyak, (b) perikanan dengan potensi 6,7 juta ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17 titik penangkapan ikan dunia; (c) pariwisata bahari yang diakui dunia dengan keberadaan 21 spot potensial, dan (d) keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (natural biodiversity).

q  Wilayah ini merupakan sumber daya masa depan (future resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini belum dikembangkan secara optimal. Sebagai contoh, dari keseluruhan potensi sumber daya perikanan yang ada maka secara agregat nasional baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan. Sementara itu, ditinjau dari nilai investasi yang masuk, maka besaran investasi domestik dan luar negeri pada bidang kelautan dan perikanan selama 30 tahun tidak lebih dari 2% dari total investasi di Indonesia.

q  Pesisir merupakan kawasan perbatasan antar-negara maupun antar-daerah yang sensitif yang memiliki implikasi terhadap pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang  terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.

Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi   masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir.

Walaupun dampak kenaikan permukaan air laut dan banjir yang sesungguhnya masih menjadi debat dalam dunia riset, dalam makalah ini dapat dikemukakan skenario kenaikan muka air laut yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (1990), dimana disebutkan adanya 3 (tiga) skenario kenaikan permukaan air laut (sea level rise). Beberapa studi yang dilakukan untuk Indonesia menggunakan skenario moderat yakni kenaikan sebesar ± 60 cm hingga akhir abad 21 sebagai pijakan. Adapun skenario tersebut  selengkapnya disajikan pada Tabel 1 berikut.
Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.
Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi.[1] Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.
 
 
Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan.  Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.
Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a)  gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada  wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang [i]hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional,[1] dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. 
1.    Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha.[2]
2.    Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown – International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi lindung – akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang.

 
 
 

 



 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar